Gerakan Radikalis Sporadis untuk Melawan Korupsi
https://stkipkusumanegara.ac.id/2020/07/14/pendidikan-anti-korupsi/
Radikalis dapat diartikan sebagai paham yang menganut cara radikal dalam menuntut perubahan. Sedangkan sporadis menurut KBBI diartikan sebagai keadaan penyebaran tumbuhan atau penyakit di suatu daerah yang tidak merata dan hanya dijumpai di sana sini.
Korupsi dalam hal ini dianggap sebagai penyakit yang menyebar di berbagai wilayah/daerah di Indonesia dengan berbagai tingkatannya. Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) menyimpulkan kota Medan, Sumatera Utara, sebagai kota terkorup pada 2017.
Dari 12 kota yang disurvei, Medan menjadi kota terkorup karena hanya mendapat 37,4 poin. Berturut-turut setelah Medan, ada Makassar (53,4), Bandung (57,9), Semarang (58,9), Surabaya (61,4), dan Manado (62,8). Sedangkan kota terbersih dari praktek korupsi berturut-turut Padang (63,1), Banjarmasin (63,7), Balikpapan (64,3), Pekanbaru (65,5), Pontianak (66,5), serta Jakarta Utara (73,9).
Dalam bukunya yang berjudul Memburu Tikus-Tikus Otonom : Gerakan Moral Pemberantasan Korupsi, Ibnu Santoso berpendapat untuk menggunakan tehnis gerakan “radikalis sporadis”, yaitu masing-masing individu di daerah mengawasi wilayahnya sediri-sendiri. Gerakan-gerakan di daerah ini akan menjadi gerakan nasional untuk membasmi tikus-tikus otonom (baca : koruptor di daerah).
Untuk itu diperlukan keberanian semua individu untuk bertindak, mengungkap, melapor, mendobrak, membongkar dan seterusnya. “Ganyang para tikus hingga tuntas tanpa syarat!” serta “Lawan, perangi dan habis kikis” bisa dijadikan yel-yel atau slogan untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Di dalam buku tersebut ada pertanyaan yang menggelitik siapa yang biasa korupsi, khususnya di daerah otonom. Oknum yang biasa korupsi ini dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu : a) posisi kedudukan jabatan oknum, b) sistem pengawasan yang ada; c) kondisi serta situasi; d) ada yang dikorupsi; e) kepribadian yang mendukung, serta f) lain-lain yang mendukung.
Korupsi tidak selalu bernilai ratusan atau milyaran, tetapi setiap tindakan yang berdampak pada ketidakadilan, menggunakan apapun yang untuk kepentingan pribadi dan merugikan kepentingan negara dan umum.
Terkait dengan tindak korupsi di daerah, Hadi Supeno (dulu Wakil Bupati Banjarnegara), dengan gamblang memberikan kesaksian, pengalaman, dan pengakuannya tentang siapa pelaku, di mana melakukannya, berapa jumlah, serta uang apa yang diambil di daerah.
Hadi Supeno (2009) menjelaskan bagaimana teknis korupsi dapat dilakukan dengan cara 1) memperbesar alokasi dana pusat, 2) mark up anggaran, 3) lelang, 4) rekayasa voucher dan bantuan proyek, 5) korupsi dalam bidang pendidikan, 6) korupsi dalam bidang pelayanan kesehatan, 7) korupsi semesta : dari upah pungut sampai gratifikasi, 8) korupsi di daerah, serta 9) korupsi anggota DPRD.
Meskipun menurut beliau sulit suatu birokrasi bebas dari praktek korupsi tetapi ada beberapa rekomendasi yang bisa dilakukan untuk mengentikannya. Menurutnya, seorang kepala daerah memiliki biaya beban politik, sementara birokrasi membutuhkan dana non-budgeter untuk keperluan yang tidak terhindarkan seperti tunjangan hari raya, beban sosial, maupun pemeriksaaan bawasda/BPKP/BPK. Rekomendasi yang dimaksud meliputi : 1) bubarkan forum muspida, 2) reformasi hukum secara radikal, 3) memperkuat KPK, 4) kurangi honor anggota DPR/DPRD, 5) pemihakan tokok-tokoh agama, 6) kepemimpinan yang berwibaw, serta 7) retorasi budaya.
0 comments:
Post a Comment