Sunday, December 7, 2014

Sejarah Korupsi di Indonesia (3) : Pasca Kemerdekaan

Pasca Kemerdekaan
Bukan hal yang aneh, ketika masa perang sebelum maupun pasca kemerdekaan, banyak orang-orang pribumi yang menginginkan hidup makmur dengan menjadi antek-antek penjajah. Mereka hidup dengan mewah dengan memakan harta pribumi. Misalnya dengan menjadi centeng (tukang pukul) untuk mengambil upeti (pajak), maupun menjadi mata-mata musuh.
Pada pemerintahan Sukarno, telah dibentuk dua kali Badan Pemberantasan Korupsi yaitu Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Sejarah mencatat, bahwa upaya penanggulangan korupsi itu tidak berjalan.
Pasca kepemimpinan Sukarno, dimulailah Orde Baru yang mengukuhkan Soeharto sebagai presiden selama 32 tahun. Pada masa pemerintahan Suharto ini korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mengalami puncaknya. Pada era pemerintahan Suharto ini, korupsi telah melembaga. Terutama dilakukan oleh Suharto dan keluarga serta kroni-kroninya. Semasa pimpinan Suharto, juga dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung.
Di era reformasi, pasca pemerintahan Suharto, B.J. Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Beliau juga membentuk Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk, maka tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK. Sampai sekarang, tinggal KPK sebagai satu-satunya lembaga pemberantasan korupsi.
Sejarah korupsi di Indonesia terus berlanjut. Praktik korupsi bukan hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, bahkan merata ke daerah-daerah sesuai dengan tuntunan otonomi daerah.
Share:

Saturday, December 6, 2014

Sejarah Korupsi di Indonesia (2) : Zaman Penjajahan

Datangnya penjajah ke Indonesia mempunyai peran penting dalam proses kehancuran kerajaan-kerajaan di Indonesia. Perselisihan di dalam kerajaan menjadi semakin parah dengan campur tangan penjajah. Misalnya, di Banten (perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji), Cirebon (yang akhirnya terpecah menjadi Keraton Kasepuhan dan Kanoman), maupun Mataram ( terpecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta)
Penjajah Belanda yang paham dengan watak orang Indonesi memanfaatkan betul setiap kesempatan yang ada. Salah satunya dengan menjanjikan kekuasaan pada pihak yang mau menjadi pengikutnya. Akibatnya, bangsa Indonesia menjadi terpecah belah. Tetapi, itu semata-mata bukan kesalahan penjajah saja. Kita sendirilah yang haus kekuasaan, haus pada kekayaan sehingga mau menyerahkan harga diri kita pada kaum penjajah.
Bukan hanya kaum pribumi, penjajah yang datang ke Indonesia, seperti Belanda, Spanyol, dan Portugis ternyata juga memiliki mental korupsi, dengan menggelapkan harta milik pemerintah. Hancurnya Kongsi Perdagangan Belanda (VOC) pun disebabkan korupsi para pejabat di kongsi tersebut. Dari pada melaporkan keuntungan yang didapat di tanah jajahan, para pejabat di sana melaporkan “beban hutang” yang harus ditanggung. Jadi, hasil bumi dalam bentuk rempah-rempah, tidak dikirimkan ke tanah pusat tetapi diselundupkan ke tempat lain untuk memperkaya diri.
Penindasan yang dilakukan oleh penjajah tidak sepenuhnya dilakukan oleh penjajah sendiri. Misalnya dalam pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel).
image

Sistem tanam paksa (cultuurstelsel)
Sumber : http://erakas.blogspot.com/2011/01/sistem-tanam-paksa-18301870.html

Cultuurstelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch pada tahun 1830. Dalam sistem tanam paksa ini ada ketentuan sebagai berikut :
- Setiap petani menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila).
- Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak.
- Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para petani dipaksa untuk menyediakan tanahnya lebih dari 1/5. Dan celakanya, pelaku pemaksaan itu adalah orang pribumi sendiri yang bekerja pada penjajah Belanda. Tanah yang seharusnya sudah bebas dari pajak, dalam kenyaatannya tetap dikenai pajak.
Kesepakatan yang lain, jika ada kelebihan hasil panen, maka akan dikembalikan ke petani. Kenyataannya, kelebihan hasil panen tersebut diambil oleh para pengepul, yang jelas orang pribumi sendiri.
Dari peristiwa tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksaan cultur stelsel, terdapat berbagai indikasi korupsi. Misalnya pengambilan pajak yang tidak semestinya, penggelapan pajak itu sendiri, penggelapan sisa hasil panen, maupun tindakan menjilat para penghianat bangsa terhadap penjajah.
Share:

Thursday, December 4, 2014

Sejarah Korupsi di Indonesia (1) : Zaman Kerajaan-Kerajaan

Masa lalu mengajari kita dari hal yang baik sampai hal yang buruk.
Kembali pada diri kita mau belajar atau tidak
image
Sumber : https://upload.wikimedia.org/wikipedia/ commons/c/c1/Majapahit_Empire_id.svg
Amatilah peta di atas.
Hayam Wuruk, yang bergelar Sri Rajasanegara, bersama-sama dengan Mahapatih Gajah Mada berhasil membawa Majapahit dalam puncak keemasan dengan Sumpah Palapanya. Wilayah kekuasaannya membentang dari Sumatera hingga Maluku dan Papua, bahkan meliputi beberapa daerah di daratan Asia Tenggara.
Gajah Mada dengan sumpahnya yang Namun setelah wafatnya Gajah Mada, kerajaan Majapahit mengalami kemunduran. Apalagi setelah Hayam Wuruk meninggal, terjadilah kemelut politik berupa pemberontakan dan perang saudara.

Di Indonesia, korupsi telah ada sejak zaman dulu. Tentunya bukan dengan nama korupsi. Pada zaman dulu kerajaan-kerajaan menarik upeti (pajak) dari rakyatnya. Dalam penarikan upeti tersebut, banyak pejabat pemerintahan yang tidak jujur. Salah satunya dengan cara menggelapkan pajak yang harusnya sampai ke kerajaan. Bentuk korupsi yang lain, adalah dengan memberikan janji atau upah pada seseorang untuk membunuh musuh-musuhnya.
Keruntuhan kerajaan-kerajaan besar di Indonesia
Keruntuhan kerajaan-kerajaan di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah perilaku yang menjurus ke arah korupsi dari para pejabat-pejabatnya. Korupsi tersebut bisa dalam bentuk mengambil barang yang bukan haknya, menipu, menjebak, menyuap, memberi keterangan palsu, membocorkan rahasia dan sejenisnya.
Mari kita ambil salah satu contoh, yaitu peristiwa yang terjadi di kerajaan Singosari.
Sejarah mencatat, bahwa di Singosari terjadi perebutan kekuasaan secara turun menurun. Kematian keturunan raja-raja Singosari bukan sekedar karena kutukan Empu Gandring atas Ken Arok. Tapi di dalamnya penuh dengan intrik-intrik kotor. Awalnya, Ken Arok, seorang pemuda berandal, membunuh Empu Gandring untuk membuktikan bahwa keris pesanannya benar-benar sakti. Dalam versi lain, Ken Arok marah kepada Empu Gandring karena keris pesanannya belum jadi saat mau diambil. Empu Gandring yang tidak menyangka atas perbuatan Ken Arok kemudian memberi kutukan, jika keris buatannya tersebut akan membunuh tujuh keturunan Ken Arok.
Ken Arok kemudian mengabdi di Tumapel, yang waktu itu dipimpin oleh Tunggul Ametung. Kebo Ijo, seorang kepercaayaan Tunggul Ametung, menjadi sahabatnya. Pada waktu itu, Kebo Ijo tertarik dengan keris milik Ken Arok dan dia bermaksud meminjamnya. Ken Arok pun meminjamkannya. Kemana-mana Kebo Ijo memakai keris itu, sehingga orang-orang Tumapel menganggap keris tersebut milik Kebo Ijo.
Pada suatu malam, Ken Arok mencuri keris yang dipinjamkannya. Kemudian dia menyusup ke kamar Tunggul Ametung dan membunuhnya. Keris buatan Empu Gandring dibiarkan menancap di dada Tunggul Ametung. Pagi harinya, orang-orang geger dan langsung menuduh Kebo Ijo yang melakukannya. Kebo Ijo, juga mati karena keris tersebut. Ken Arok akhirnya memperistri Ken Dedes (istri Tunggul Ametung) yang cantik jelita.
Ketika Ken Dedes dinikahi oleh Ken Arok, dirinya sedang mengandung anak dari Tunggul Ametung. Setelah lahir anak tersebut diberi nama Anusapati. Setelah besar, Anusapati tahu bahwa ayahnya, Tunggul Ametung, sebenarnya mati dibunuh oleh Ken Arok. Kemudian Anusapati minta bantuan Ki Pengalasan untuk membunuh Ken Arok menggunakan keris yang sama. Setelah membunuh Ken Arok, Ki Pengalasan lari minta perlindungan pada Anusapati. Tapi Anusapati justru membunuhnya, untuk menghilangkan jejak. Cerita itu terus berlanjut, sampai akhirnya Anusapati dibunuh oleh Tohjaya , anak dari Ken Umang (selir Ken Arok) ketika menemaninya main sabung ayam.
Tohjaya pun naik tahta menggantikan Anusapati. Begitu seterusnya, Tohjaya terbunuh digantikan oleh Ranggawuni (putra Anusapati). Setelah Ranggawuni meninggal, kemudian digantikan oleh Kertanegara. Kertanegara gugur dalam peperangan.
Demikianlah, kisah perebutan kekuasaan yang tragis. Pembunuhan-pembunuhan terjadi silih berganti. Nilai-nilai kemanusiaan seolah-olah tidak ada artinya. Berbagai tipu daya digunakan untuk mengalahkan lawannya. Perilaku-perilaku suap, cara-cara licik terjadi turun-menurun.
Dari sejarah, kita juga mencatat bahwa keruntuhan kerajaaan-kerajan besar, seperti Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Demak, serta banyak kerajaan lain disebabkan oleh perebutan kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan ini, dipastikan ada pejabat yang culas, suka memperkaya diri, mengabaikan moral dan sebagainya.
Share:

Buku Melawan Korupsi

Buku Melawan Korupsi

Youtube