Rincian Bentuk-Bentuk Korupsi Menurut KPK
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
Jabaran dari bentuk-bentuk tindakan korupsi di atas adalah sebagai berikut :
1. Kerugian keuangan negara :
a. melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; (pasal 2);
b. menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya (pasal 3)
2. Suap-menyuap :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya ( Pasal 5 ayat (1) huruf a);
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya ( Pasal 5 ayat (1) huruf b)
c. memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13)
d. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji seperti pada pasal 5 ayat (1) huruf a dan b (Pasal 5 ayat (2));
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a);
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf b);
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan ataukewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (pasal 11);
h. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a);
i. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf b);
j. hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b (pasal 6 ayat (2);
k. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c);
l. advokat yang menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf d);
3. Penggelapan dalam jabatan:
a. pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (pasal 8);
b. pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (pasal 9);
c. pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya (pasal 10 huruf a);
d. pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut (pasal 10 huruf b);
e. pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut (pasal 10 huruf c);
4. Pemerasan :
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (pasal12 huruf e);
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang (pasl 12 huruf g);
c. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (pasal 12 huruf h);
5. Perbuatan curang:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan rang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a);
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b);
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c);
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d);
e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik ndonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a atau huruf c (pasal 7 ayat 2);
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ( pasal 12 huruf h).
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan:
Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (pasal 12 huruf i).
7. Gratifikasi ( pasal 12 B jo. Pasal 12 C)
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum (pasal 12B ayat 1).
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (pasal 12C ayat 1).
Selain definisi tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan di atas, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain itu tertuang pada Pasal 21, 22, 23, dan 24 Bab III UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas:
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu
6. Saksi yang membuka identitas pelapor
Bahan bacaan :
https://www.kpk.go.id/gratifikasi/BP/buku_saku_korupsi.pdf
0 comments:
Post a Comment