Datangnya penjajah ke Indonesia mempunyai peran penting dalam proses kehancuran kerajaan-kerajaan di Indonesia. Perselisihan di dalam kerajaan menjadi semakin parah dengan campur tangan penjajah. Misalnya, di Banten (perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji), Cirebon (yang akhirnya terpecah menjadi Keraton Kasepuhan dan Kanoman), maupun Mataram ( terpecah menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta)
Penjajah Belanda yang paham dengan watak orang Indonesi memanfaatkan betul setiap kesempatan yang ada. Salah satunya dengan menjanjikan kekuasaan pada pihak yang mau menjadi pengikutnya. Akibatnya, bangsa Indonesia menjadi terpecah belah. Tetapi, itu semata-mata bukan kesalahan penjajah saja. Kita sendirilah yang haus kekuasaan, haus pada kekayaan sehingga mau menyerahkan harga diri kita pada kaum penjajah.
Bukan hanya kaum pribumi, penjajah yang datang ke Indonesia, seperti Belanda, Spanyol, dan Portugis ternyata juga memiliki mental korupsi, dengan menggelapkan harta milik pemerintah. Hancurnya Kongsi Perdagangan Belanda (VOC) pun disebabkan korupsi para pejabat di kongsi tersebut. Dari pada melaporkan keuntungan yang didapat di tanah jajahan, para pejabat di sana melaporkan “beban hutang” yang harus ditanggung. Jadi, hasil bumi dalam bentuk rempah-rempah, tidak dikirimkan ke tanah pusat tetapi diselundupkan ke tempat lain untuk memperkaya diri.
Penindasan yang dilakukan oleh penjajah tidak sepenuhnya dilakukan oleh penjajah sendiri. Misalnya dalam pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel).
Sistem tanam paksa (cultuurstelsel)
Sumber : http://erakas.blogspot.com/2011/01/sistem-tanam-paksa-18301870.html
Cultuurstelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch pada tahun 1830. Dalam sistem tanam paksa ini ada ketentuan sebagai berikut :
- Setiap petani menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila).
- Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak.
- Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para petani dipaksa untuk menyediakan tanahnya lebih dari 1/5. Dan celakanya, pelaku pemaksaan itu adalah orang pribumi sendiri yang bekerja pada penjajah Belanda. Tanah yang seharusnya sudah bebas dari pajak, dalam kenyaatannya tetap dikenai pajak.
Kesepakatan yang lain, jika ada kelebihan hasil panen, maka akan dikembalikan ke petani. Kenyataannya, kelebihan hasil panen tersebut diambil oleh para pengepul, yang jelas orang pribumi sendiri.
Dari peristiwa tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksaan cultur stelsel, terdapat berbagai indikasi korupsi. Misalnya pengambilan pajak yang tidak semestinya, penggelapan pajak itu sendiri, penggelapan sisa hasil panen, maupun tindakan menjilat para penghianat bangsa terhadap penjajah.
Kerugian Keuangan Negara Capai Rp223 Miliar, KPK Tetapkan 5 Tersangka
Pengadaan Tanah di Rorotan - Jakarta
-
*Jakarta, 20 September 2024*. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan
5 orang Tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan tanah di
Ror...
0 comments:
Post a Comment